Sebuah Cerita Tentang Cita-cita

Premium Blogger Themes - Starting From $10
#Post Title #Post Title #Post Title

Kedewasaan yang hakiki

Jakarta, 19 November 2012

Assalamualaikum
      Pagi ini Alhamdulillah sudah bisa ngantor lagi setelah libur panjang di kampung halaman
sebenarnya hati dan pikiran ini belum bisa fokus untuk menghadapi tumpukan kertas dan tugas-tugas di kantor
       Tapi aku ga mau berlarut-larut mengikuti suasana hati yang memang sedang ga enak banget. Pekerjaan adalah kewajiban, dan harus dipaksakan.
Aku duduk di depan Komputer kantor, log in Gtalk dan melihat status seorang sahabat, tiba-tiba ada rasa tenang yang menghinggapi hati.
      Seorang muslim yang alim, taat sekali beribadah, pengetahuan agamanya luas dan kadang menjadi tempat berkeluh kesah dan berdiskusi masalah agama tiba-tiba menayangkan status di akun Gtalknya, saya mengutipnya dan menulis status di bawah ini:

"Aku melihat. Dewasa itu adalah ketika seseorang menjadikan kebahagiaan orang lain sebagai kebahagiaan dirinya. ketika ia tidak menuntut orang lain untuk membahagiakannya. tapi ia menuntut dirinya untuk membahagiakan orang lain. karena itu adalah kebahagiaan baginya"


      Kalimat yang sungguh sangat sederhana, tapi sangatlah dalam maknanya. susunan kalimatnya indah, mudah untuk dipahami tapi mungkin sangat sulit untuk dipraktekan di kehidupan. Sangat jarang orang yang bisa melakukan sesuatu seperti status gtalk diatas.

       Aku diam dan coba meresapi kumpulan kata-kata indah diatas, dan kemudian aku tersenyum.
Perspektif dewasa yang aku lihat selama ini ternyata salah, aku lebih suka perspektif dewasa menurut sahabatku ini. dan aku ingin mencoba untuk melakukannya, ya mencobanya. mencobanya terus menerus, tak peduli orang bilang apa, walau mungkin gagal tapi aku akan terus ikhtiar untuk mencobanya.

       Dulu aku begitu egois, aku menginginkan kebahagiaan menurut perspektifku tanpa melihat perspektif orang lain. dulu aku pikir disaat aku bahagia, orang-orang disekelilingku juga pasti bahagia. ternyata aku salah begitu banyak orang yang aku sakiti agar aku berusaha mendapatkan kebahagiaanku.

       Aku ingat-ingat lagi bagaimana aku menyakiti orang-orang itu, bagaimana aku berusaha mendapatkan kebahagiaanku yang ternyata semu.  Dulu saat aku melihat pacarku dekat dengan orang lain, aku malah menganggap orang itu sebagai sebuah ancaman terhadap hubunganku, aku berusaha menyingkirkan orang itu jauh-jauh entah dengan cara apapun. Aku sama sekali tak mendengarkan omongan pacarku, aku dibutakan oleh rasa cemburu saat itu. aku tak memperdulikan perasaan pacarku, yang aku tau hanya mengejar "kebahagiaanku yang ternyata semu itu".

       Kini aku sadar, bahwa yang aku perbuat adalah sebuah kesalahan. aku terlalu egois, aku terlalu dibutakan oleh nafsu cemburu. aku dibutakan oleh kedewasaan dan kebahagiaan yang semu. Sekarang aku ingin berubah, aku ingin menjadi seseorang yang "dewasa" seperti dalam status sahabatku itu. memang berat, tapi aku ingin mencobanya. aku ingin belajar menjalaninya. walau pasti akan banyak sekali penolakan-penolakan baik dari diri sendiri maupun orang lain, tapi aku akan menutup mata dan telinga dengan perkataan mereka.

Kini, Aku ingin belajar melihat sesuatu hal dengan kedewasaan yang hakiki.....




NB. Terima kasih yang sebesar-besarnya untuk sahabatku Astu laksana


One Response so far.

  1. Bismillah..
    Tulisan yang menarik, menunjukkan pula perasaan hati penulisnya yang mudah tersentuh kebenaran..

    Saat saya membaca tulisan ini saya teringat suatu hadits yang mengisahkan kecemburuan seorang shahabat Nabi:
    Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata dalam mengungkapkan kecemburuannya terhadap istrinya:
    “Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku niscaya aku akan memukul laki-laki itu dengan pedang”

    Mendengar penuturan Sa‘ad yang sedemikian itu, tidaklah membuat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mencelanya, bahkan beliau bersabda: “Apakah kalian merasa heran dengan cemburunya Sa`ad? Sungguh aku lebih cemburu daripada Sa`ad dan Allah lebih cemburu daripadaku.” (Shahih, HR. Al-Bukhari, dalam kitab An Nikah, bab “Al-Ghairah” dan Muslim no. 1499)

    Namun tentu posisi Sa’ad radhiyallahu ‘anhu saat itu berbeda, karena ia adalah seorang suami yang memiliki kewajiban dan hak atas istrinya. Sedangkan untuk hal ini saya yakin penulis sudah memiliki banyak pertimbangan untuk menjadikannya indah :)


    referensi: Bukti Cinta Seorang Suami